20241004

Mengingat Pondokan

Kami membayangkan ketika pada akhirnya setiap dari kami bermuara dan mengendap menjadi aku. Akankah kami tetap meledakkan diri atau menyerahkan diri kepada waktu? Akankah kami tetap mengiyakan ajakan untuk bertemu di dasar telaga? Akankah kami merelakan tubuh kami untuk digerogoti: menjadi tua dan menyebalkan?

Namun, sebelum semua itu, akankah kami dapat bertemu sedang kami tidak dapat memberikan tempat untuk memasang tubuh kami sendiri pada rangkaian waktu: lampau, kini, dan nanti.

Adalah abu-abu yang dapat mengada, bukan sebagai seragam dari keraguan, ketakutan, ketidaktahuan, ketidakjelasan, dan ketidakpastian. Tetapi sebuah tanda bahwa hujan tidak akan pernah pergi dari kota ini. Bahwa sebagian dari kami sudah mati selepas batas desa. Bahwa sebagian dari kami dalam sekapan awan. Bahwa sebagian dari kami masih berada di pondokan: di perapian, di pembaringan.

‹ back