Misalkan saja kami akhirnya selesai dan menjadi aku. Akankah jalanan tetap kosong seperti malam di desa? Juga angin yang menyergap dan mengamankanmu ke pos ronda terdekat.
Kemudian, dari sela-sela tembok yang kami bangun, bermekarlah keyakinan: bahwa menjadi normal adalah kebosanan. Ah, kami lupa, kami tidak pernah normal. Sayang sekali, kenormalan tidak pernah hadir di meja makan kami.
Selanjutnya? kami bikin makna dari sampah-sampah dan kotoran yang berkumpul di lantai. Mereka sudah lama menuntut kenormalan kami.
Malam ini, dan kami yang merampasmu dari diri kami sendiri.